Alkisah terjadi sebuah peristiwa di negara antah berantah yang beragama. Ada seseorang yang mabuk, mengendarai kereta kuda yang melaju zig-zag kencang dan akhirnya naik ke trotoar.
Duar! 9 nyawa melayang.
Lalu masyarakat negeri itu dengan ramai2 mencaci maki si pengendara. Terlihat di media sosial orang2 berkata bahwa nyawa harus diganti nyawa, hukum mati saja dengan cara X, Y, Z, dll.
Pelaku dan keluarga sudah minta maaf hingga berlinang air mata? Lewat... masyarakat sudah terlanjur marah sehingga permohonan maaf pun dianggap palsu.
Sebagai seseorang yang mengenal Tuhan yang dipuja-puji dalam agama, ada sebuah pertanyaan yang muncul.
Jika kita percaya bahwa segala sesuatu dikolong langit ini terjadi dalam rencana dan kehendak Tuhan, bukankah Tuhan yang harus dicaci maki?
Bukankah Tuhan yang menciptakan materi yang memabukkan? Bukankah Tuhan yang menciptakan manusia dengan syaraf yang bisa mabuk? Bukankah Tuhan yang mengizinkan si pelaku mabuk? Bukankah Tuhan yang mengizinkan para korban tertabrak kereta? Bukankah Tuhan yang menciptakan manusia yang bisa meninggal ketika tertabrak kereta kuda?
Sungguh perbuatan Tuhan jauh lebih hina dari perbuatan si pelaku. Dengan segala kemahakuasaan dia mempermainkan manusia. Terlebih lagi dia membuat hukum yang mengharuskan si pelaku kehilangan nyawa. Sudah nyawa terhilang dari keluarga korban, sekarang dituntut sebuah nyawa terhilang dari keluarga pelaku.
Para penganut agama yang diberkati Tuhan karena tidak menjadi pelaku mendadak merasa paling benar. "Tidak, di keluarga saya tidak ada tuh pemabuk", begitu kata seorang.
"Pelaku harus dihukum mati supaya menjadi contoh", begitu kata seorang yang lain.
Nyawa yang dikatakan berharga mendadak menjadi mainan, sekedar contoh katanya. Yah karena memang nyawa orang lain, bukan nyawanya sendiri.
Lalu bagaimana menjawab ini?
Tiba2 teringat sebuah ucapan "Tuhan" dalam film "Evan Allmighty":
"Let me ask you something. If someone prays for patience, you think God
gives them patience? Or does he give them the opportunity to be patient?
If he prayed for courage, does God give him courage, or does he give
him opportunities to be courageous? If someone prayed for the family to
be closer, do you think God zaps them with warm fuzzy feelings, or does
he give them opportunities to love each other?"
Disinilah letak kegagalan penduduk negeri antah berantah ini. Bahwa bukankah runtutan kejadian ini merupakan kesempatan dari Tuhan untuk menjadi orang yang lebih baik?
Bukankah kejadian ini mengajari bahwa mabuk itu berbahaya? Terlebih ketika mengendarai kereta.
Bukankah kejadian ini mengajari untuk mengikhlaskan dan menerima maaf?
Bukankah kejadian ini mengajarkan betapa sedihnya kehilangan nyawa seseorang yang disayangi. Apakah perlu hal ini terulang kepada pelaku dan keluarganya?
Bukankah kejadian ini seharusnya menyadarkan pelaku dan menjadikannya orang yang lebih baik di masa depan? Dengan inilah dia sebaik2-nya membayar hutang 9 nyawa. Bukan dengan kehilangan nyawa..bless...selesai.
"Mudah kamu berkata seperti itu! Coba kalau yang menjadi korban itu adalah keluargamu! Apakah kamu tidak marah Goblok!". Begitu kata penduduk negeri antah berantah..
Jelas saya sedih dan marah. Jelas saya menuntut nyawa pelaku sebagai gantinya walaupun saya tahu nyawa korban tidak akan kembali lagi sebanyak apapun saya menuntut.
Tapi ini bukanlah perilaku yang layak dari sahabat, teman maupun masyarakat yang saya harapkan.
Sebaik2-nya simpati, empati dan pati2 lainnya, tidaklah seharusnya itu larut dan memperburuk keadaan. Hal yang benar untuk dilakukan tetap harus dilakukan. Dan hal yang buruk seperti kemarahan dan caci maki harus ditinggalkan.
Inilah perilaku teman dan sahabat yang baik.
Orang yang meninggal sudah pergi dan tidak akan kembali lagi. Berapapun bayarannya.
Jika demikian bukankah tugas yang hidup adalah menjalani hidup dengan sebaik2-nya? Dengan belajar dari kematian dan hidup setiap hari dengan sebaik2-nya hingga hari kita mati dan bertemu dengan Tuhan?
Toh nanti kita akan bertemu dengan yang telah mendahului di hadapan Tuhan. Kesedihan tidak akan abadi, selama2-nya adalah sepanjang hidup kita yang sangat pendek ini.
Penduduk yang beragama percaya bahwa Tuhan adalah maha pemberi maaf. Ketika mereka meminta maaf, Tuhan dengan mudahnya memberikan maaf. Tapi ketika orang lain meminta maaf, mereka dengan pelitnya tidak memberikan maaf.
Perilaku macam apa ini?
Kenapa Tuhan memberikan maaf? Bukankah Tuhan ingin kita belajar dari kesalahan dan menjadi lebih baik.
Begitu demikian dengan kejadian ini yang meninggalkan tugas teramat besar, yaitu menjadikan pelaku manusia yang lebih baik.
Lho? Dia yang salah kenapa saya yang repot?
Memang harus begitu jika engkau benar2 mengerti karakter Tuhan. Dan ini adalah amalan terbesar. Bukankah demikian yang Tuhan selalu lakukan dengan hidupmu?
Tapi cerita tinggal cerita.
Kenapa masyarakat negeri antah berantah bertingkah laku seperti yang diceritakan di awal cerita? Penuh amarah dan caci maki?
Satu kata sebagai jawaban yang paling mungkin: "munafik"