Wednesday, October 26, 2011

Punya Anak (lagi)...

Selalu tidak habis pikir kenapa orang miskin selalu punya anak banyak? Bukan menghina, tapi selalu terkagum2 dengan tayangan dokumentasi ketika orang tuanya tinggal di gubuk dan anaknya sampai 7-8 orang?

Bagaimana mungkin ketika ruang hidup semakin mahal? Silahkan tanya harga rumah 3-4 kamar di Jakarta, rasa2-nya sudah tembus 1M. Lha ini sampai 7 orang?

Bagaimana pendidikan, bagaimana kesehatan, bagaimana yang lain2?

Dulu pas masuk gw mau masuk kedokteran rasa2-nya bayar sekitar 30 juta-an. Terus dengar2 sekarang ada yang masuk kedokteran bayar hingga 300 juta (uni yang sama)? Iiih amit2 tak sudi kalau gw di-gituin.

"Ah nanti sekolahnya di negeri aja Dy...", ada yang pernah berkata begitu, ketika gw tanya bagaimana dia ngurusin sekolah anaknya.

Suatu eksklusifitas yang gw tidak bakal punya. Bukan bermaksud menjelek2-an sekolah negeri (walaupun maaf to say... memang jelek), tapi rasa2-nya kalau target adalah sesuatu yang sudah di-subsidi, seperti sudah mengambil hak orang lain.

Suatu kebijakan yang gw tidak terlalu suka dari pemerintah Indonesia.

Pendidikan murah, biaya kesehatan murah memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa segala yang disediakan itu harus diusahakan dan tidak jatuh dari langit.
Gw lebih setuju kalau subsidi hanya disediakan hingga batas anak kedua. Anak ketiga dan seterusnya seharusnya tidak menjadi tanggung jawab negara.
Fokus ke dua anak per penduduk dan bagaimana membangun sumber daya ini dengan benar dan sungguh2.

Pernah baca di satu media kalau KB itu adalah skenario zionis untuk membatasi populasi ... Ah sudahlah cape membacanya.

Kebijakan demografis bukanlah kebijakan instan, bikin kebijakan sekarang, dan langsung bisa melihat perubahan. No no.. lebih ke bikin kebijakan sekarang, 20-30 tahun baru bisa melihat perubahan.

Dan rasa2-nya 20-30 tahun lagi kita bisa melihat ecological disaster di mana2. Cool huh? Dan yang miskin yang terkena dampak paling besar. Tapi tenang, toh kita2 bakal sudah tua, obesitas, dan tinggal menunggu waktu saja. Tapi kalau punya anak yang pintar, waras, dan kritis mereka akan bertanya kenapa mewarisi dunia yang seperti ini?

Orang tua kita berkata bahwa mereka tidak tahu bahwa kita akan mewarisi dunia seperti ini. Dan rasa2-nya kita pun akan sama tolol-nya.
Kita akan berkata bahwa kita tidak bisa berbuat apapun. Hanya bisa bertahan hidup, mengikuti apa yang masyarakat mau.

Dulu ketika masih kecil, naik feri Lampung-Jakarta, bisa melihat lumba2 berenang di samping kapal. Ketika sudah besar, dan gw naik feri kembali dengan rute yang sama, gw hanya bisa melihat ubur2. Pertanda sudah ada sesuatu yang salah dengan laut.
Ada yang berkata bahwa sekarang sudah terlambat untuk berharap hidup harmonis dengan alam.

I am angry. Dan gw bingung dengan orang2 yang punya anak. What do you want for your kids to see in the future? This world? Or you always think there will be a better tomorrow?
Tomorrow will always be there, but it has to be built, and are we building it the correct way?

Kita perlu masa depan dimana orang2 bisa hidup bermartabat, dan yang jelas tidak miskin. Apakah sumber daya alam cukup untuk men-support kebutuhan ini? Dan kita juga berbagi dengan jutaan mahluk hidup lain yang juga perlu hidup bermartabat.

Skeptis dan bitter, gw selalu berpendapat.. punya anak karena pernikahan ga bakal survive without anak. Parents perlu sesuatu untuk dijadikan common goal... so both of the parents can struggle together. Kalo ga gitu ya bosen lah.. terus selingkuh deh.
Is it?? Yang gw lihat sih begitu, dan akhirnya si anak-lah yang menjadi korban.
Egois.

Sunday, October 23, 2011

Kado...

Semakin bertambah umur entah kenapa semakin sulit menghadiahi orang sesuatu.

Dulu rasanya ketika muda kita menerima banyak kado ketika ultah. Entah kenapa setelah dewasa paling2 hanya mentraktir, ucapan selamat, dan kalau ada kado itupun berupa makanan.

Ketika menikah pun sudah lazim hanya memberikan 'mentah'nya saja berupa amplop sogokan aparat keamanan.

Padahal sejujurnya gw masih mem-favorit-kan kado barang. Walaupun gw tahu hal ini merepotkan sekali. You just don't want to risk giving out trash to other people.
Walaupun untuk your enemy you definetly want to give trash.

Harus riset, orang yang akan diberi minat dan interest-nya di mana. Dan terkadang gw tidak bisa menemukan kado at all.

Ketika sepupu ultah minggu2 kemarin, dan pada akhirnya gw memutuskan akan mencari kado. Harus muter dulu satu dept. store, dan pada akhirnya gw memutuskan untuk melihat opsi jam tangan.

Secara yang mau dikasih anak cewe remaja, so gw skip merk2 terlalu dewasa seperti CK, Guess, Bur-ket, dll..
Ketika sales girl-nya bertanya mau ngasih siapa, gw menjawab anak cewe 15-16 tahun (umur aja gw lupa). Dan dia kemudian menunjukkan opsi2 pilihan yang mana menurut gw terlalu terlihat kekanak2-an.

Akhirnya mata gw terus tertuju ke satu jam tangan. Strap-nya sporty, tapi jam-nya analog. Kombinasi aktif dan sophisticated, which I like. Bukan jam tangan sport, lebih ke arah gaya, tapi masih mencerminkan gaya yang sporty ketimbang profesional.
Dan sayangnya kutukan mata gw adalah seperti yang dikatakan nyokap: "Mata lu pinter ngeliat barang bagus tapi ga pernah murah."
Gw merasa ragu sesaat. Kalau sweet 17 boleh lah ngasih begini, tapi kalau cuma ultah reguler 15 / 16 taon?

Tapi ya akhirnya what the hell... angkut juga itu jam tangan. Secara kalau gw cewe, gw angkut juga itu jam.

Daaaaan..... ketika akhirnya gw ngasih. Gw salah itung!!! It was sweet 17! OMG! What a nice co-incidence.
Kadang2 lu terheran2 dengan 'kebetulan2' aneh yang terjadi.

Monday, October 17, 2011

Back Then When The Life Was (not so) Simple...

What is, in your opinion, the most beautiful waltz?

Ketika menonton 'Enchanted', dan ketika Amy Adams dan Patrick Dempsey melakukan 'Kings and Queens waltz', temen2 cewe pada wuih wuih...klepek2..

Buat gw...  John McLaughlin memang luar biasa dengan 'So Close'-nya. Tapi.....

Entah kenapa scene itu mengingatkan gw pada...ok-lah gw memang sudah tua.

Remember 'Waterloo Bridge'? Film jadul entah kapan, but in my opinion this movie has the most beautiful waltz.. with the legendary song 'Auld Lang Syne'.


Gw pertama kali nonton.. hmm SMP kali yah, ketika masih belajar bahasa Inggris. Dan sebenarnya Roy merupakan karakter idola gw.. hemm.. entah berapa ribu kali gw kepingin jadi seperti dia.
Dan berkali2 juga gw juga membayangkan betapa indahnya kalau hidup ini di-shoot hitam dan putih.

.. sometimes gw hopelessly romantic. Gw nonton film ini dan nangis (tentunya diam2 di kamar). Dan gw tidak pernah lagi memandang rendah prostitute.

Entah kapan yah bisa dance waltz...tapi ketika hari sudah malam semua orang berhak untuk bermimpi.

Sunday, October 16, 2011

Pendidikan Jaman Sekarang

"Banyak pelanggannya? Hari ini berapa pelanggan?"
"Emm hari ini mas yang kedua, tadi pagi ada satu" begitu jawabnya.

Percakapan ini terjadi di tempat pijat "tidak benar", plus plus istilah gaulnya.
Dan langsung otak matematika gw berjalan. Kalau satu pelanggan = 500 rb, dua pelanggan berarti 1 jt. Ok-lah hitung kalau dia bawa pulang cuma 60%-nya = 600 rb. 3-5 pelanggan per bulan saja sudah lebih besar dari gaji fresh graduate S1 di Indo. Kalau dia konsisten 2 pelanggan/hari selama 30 hari, sudah gaji manager itu.

Dan memang begitu ditanya: "Kenapa ga kuliah?"
Jawabannya memang ke arah situ. Buat apa saya kuliah kalau gaji sarjana kecil? Keluar uang lagi.

Jujur gw speechless.

Ada teman gw lulusan Binus yang gajinya sekarang (yup sekarang): 1.5 juta per bulan.
Ada teman sarjana komputer membuka toko bangunan. Sarjana mesin berjualan baju. Dan pernah satu ketika gw memilih untuk berjualan saja ketimbang harus kembali bekerja profesional di Jakarta.

The money sucks..BIG time!

Kembali ke masalah pijat memijat "tidak benar".

Teringat dulu ketika berjalan-jalan di beberapa mal di Jakarta yang memang terkenal sebagai tempat mangkal gigolo. Well dengan beberapa teman kita mencoba untuk menebak2 dan ber-hiiii ria bersama. Memang ada yang betul2 jelas terlihat.. cowonya ganteng, tantenya kisut dan keriput.
Mereka hiiiii.... gw iri.

I want that life. Dan gw memandang dengan tatapan sangat iri. Hidup gw adalah tong gendut berjalan yang setiap hari harus menghapal rumus2 ga jelas yang kemudian hari ga bakal dipakai sama sekali.
But my life wasn't my choice back then. Menurut orang tua nilai fisika, matematika, dll lebih utama. Which is until today i find it not true.

Pendidikan...apakah itu mengajarkan jalan hidup? Ataukah hanya sebagai pabrik robot yang nantinya dipakai sebagai tenaga kerja murah?

Kenapa kita tidak boleh menjadi alternatif? Unik di tengah masyarakat yang serba robot?

Ada cerita lain. Seorang teman punya teman (yang mana memang gw pernah ketemu). Well dia memang ganteng (walaupun ga ganteng2 amat juga). Dan ceritanya adalah dia di-'piara' oleh salah satu pengusaha fashion ternama di Jakarta (which is .. yes cowo juga). Dia juga menjadi model poster2 yang ditempel oleh si pengusaha fashion ini di outlet2-nya.

Cool huh...

Mungkin hidup 'normal' seperti saat ini hanya untuk losers saja. Buat orang2 yang tidak keren yang harus duduk di cubicle Senin-Jumat. Dan kita berbangga karena kita 'normal'. Tapi sayang sekali tetap tidak keren.

It is not that in your life you can dream anything and work your way towards it.

Banyak orang yang bertanya2 kenapa gw selalu bermimpi untuk jadi yang aneh2

The answer is I feel bored. My parents and society answer for everything is to live normally and happily. Tapi gw tidak mau menjadi normal ketika semua orang normal! It's just plainly pathetic.
Dan mungkin tidak cuma gw yang merasa seperti ini. Buktinya film super hero selalu laris manis. Dari situ saja kita bisa melihat bahwa orang-orang normal hanya menjadi korban, menjerit-jerit ketika monster menyerang, dan akhirnya mati menggenaskan.
Can we dream to be a super hero? Or the bad guy? At least the bad guy died for something.

Dan gw menjadi orang yang bitter. Ketika sepupu gw nanya PR matematik-nya, gw memang masih bisa, dan gw ngajarin.. tapi gw bilang: "ngga ada gunanya...". I'm not a good influence for kids.

Ada teman yang bekerja jadi guru di dunia pendidikan. Dan seperti layaknya guru dia mengajarkan pada anak didiknya bahwa mencontek itu tidak baik dan tidak boleh.
Gw tertawa sedikit ketika berbicara dengan dia.. "tidak baik sih iya... tapi tidak boleh.. tunggu dulu. Tidak boleh kalau ketahuan..."
Ini bukan perkara moral, bukan perkara mencuri. Ini perkara jalan hidup.
Kalau jadi guru gw akan berkata: "Kalian boleh mencontek.. asal jangan ketahuan saya." Toh memang begitu orang hidup.
Mencontek.. mencuri... mengadaptasi. Asal tidak ketahuan, apa salahnya. Hanya orang bodoh yang mengais2 tanah untuk memulai dari 0.
Contoh? Rasanya banyak.. lihat saja Samsung dan Apple.



Di mata gw hanya tiga hal yang membuat dunia berputar: money, power, and sex. Bukan Tuhan, dan bukan moral.

Jujur tidak sampai hati gw, kalau sampai punya anak nanti, dan gw harus mengajarkan hal ini kepada dia. Dan mungkin lagi2 beginilah kesalahan orang tua. Kita ingin anak2 kita punya idealisme terhadap dunia, menjadi orang yang tidak sepahit orang tuanya yang banyak mengalami kekecewaan. Tapi begitu anak kita besar dan mengetahui bahwa kenyataan yang sesungguhnya tidaklah seindah mimpi.... lingkaran setan akan mulai berputar kembali.

Cina...

Menonton film '1911' kemarin, ada hal yang menarik. Terkisah ada perkataan bahwa orang Cina di perantauan selalu di-bully karena negara Cina lemah.
Terkisah pula ada teman dari Malaysia yang berkata: "You know what they said? You all can go back to China!"

Sekarang walaupun Cina sudah maju, namun apakah gw yang berwajah Cina bisa jalan dengan bangga? Rasanya tidak, karena gw masih orang Indonesia dan negara Indonesia masih seperti kentut.

Gw adalah generasi kedua di Indonesia, karena kakek dan nenek masih berasal dari Cina. Tapi apakah gw familiar dengan Cina? Sekali lagi kentut adalah jawabannya.
Rasanya untuk generasi gw, we call ourselves as Indonesian. Yang bisa bahasa Cina pun cuma secuil dua cuil orang. Gw tau kota, gunung, sungai, pantai di Indonesia, sedangkan yang di Cina sana.. boro2 tau.

Tapi gw harus bilang gw orang Cina, entah mau disebut etnis Tionghoa keq terserah. Sekarang gw setuju dengan bokap gw, harus seperti itu. It's an identity that can never ever be lost.
Dan Indonesia adalah tempat lahir, dan itupun adalah identitas yang tidak akan pernah hilang. Bagaimanapun sepanjang perjalanan hidup selalu ada serpihan kenangan yang tersebar di mana2.

Dulu gw sering menyesal menjadi orang Cina, bukan apa.. cuma sering digebukin dan di-"palak". Selalu protes ke ortu kenapa harus terlahir sebagai orang Cina. Egois memang, karena jika gw mengalami hal seperti itu, mereka juga tentu mengalami hal serupa.
Dan mereka selalu bilang "jika besar nanti, kamu akan tahu betapa beruntungnya jadi orang Cina."

Which is true. Orang yang gebukin dan malak gw, entah jadi apa mereka sekarang. Tapi yang jelas gw menjadi lebih kuat dari yang dulu. Dan gw menyadari betapa beruntungnya punya tampang Cina. Tampang tidak bisa diubah, tapi attitude selalu bisa.

Ketika kerusuhan London masuk berita, banyak rekan2 yang mengait2-kan dengan kerusuhan 1998. Dan ada satu opini yang ditulis oleh salah satu reporter kenamaan Indonesia yang menyamakan kerusuhan London dengan 1998. Masalah ekonomi katanya.

Tapi, buat kita2 sebagai saksi hidup peristiwa tersebut, ini adalah hal yang tidak sama. 1998 memang disebabkan oleh masalah ekonomi, politik, dll. Tapi ini adalah kerusuhan yang menargetkan etnis... huff...Cina. Gw bilang ke rekan2 gw: "We forgive, but we will not forget". Dan selama gw hidup, gw akan tetap menceritakan hal yang sama.

Di mana gw waktu itu? Berjalan kaki pulang Ebtanas dari sekolah ke rumah karena tidak ada satupun angkot yang beroperasi. Dan gw tidak akan pernah lupa bagaimana tatapan orang2 sepanjang jalan terhadap muka full Cina gw.
Ketika itu sudah 5 tahun gw tinggal di Tangerang, dan hanya di hari itu gw melihat wajah orang2 yang seperti melihat alien melintas. Ketika sampai di rumah, sudah ada hadiah batu di tempat tidur gw.

"Indonesia will not be able to survive the second one." Begitu yang gw katakan, ketika ada yang menanyakan apakah gw sekarang masih khawatir kejadian serupa. 1998 yang pertama masih menyisakan banyak hal sampai sekarang.

Banyak dari kita... sisa2 1998, no longer call Indonesia home. Dan beberapa dari mereka adalah orang2 yang gw tahu benar2 berkualitas. Dan banyak juga dari kita, sisa2 1998, yang selalu bersiap2 lari ke luar negeri. The trauma is still there, it will heal with time, but currently it is there.

Ketika kuliah, gw masuk universitas negeri. Itupun dengan berjaga2 karena pasti bisa masuk swasta. Ketika itu gw sudah berubah, gw sudah menjadi orang yang "What the heck...". Gw akan memberikan ini kesempatan, just to take a look.

Sejenak gw berusaha untuk beradaptasi dengan nilai2 "luhur". Hingga akhirnya ambruk juga. Gw adalah gw. Gw bangga dengan nilai2 yang gw punya. Mau itu kata individualistis, kapitalisme, kebarat2-an. Persetan. Mau mengharapkan gw kompromistis dengan nilai2 "luhur nan ketimur2-an"? Aduh sakit kepala, secara munafik banget gethu loooh.

Tentu hal ini mengakibatkan gw tidak bisa menjadi tokoh terkemuka di kampus. Tapi pada akhirnya gw merasa hidup gw menjadi lebih kaya karena gw menjadi mengerti sisi pandang yang berbeda. Dan.... gw juga bisa melihat ada teman2 yang mulai melihat dari sisi pandang gw.
Pertama kali gw masuk institusi negeri, entah kapan kedua kalinya.

Dan ketika mencari kerja, gw menjadi naif dan lugu. Bermimpi bahwa gw bisa masuk ke semua perusahaan. But apparently not. Ya contoh sajalah... boro2 gw jadi PNS.
Ada yang langsung memberikan tawaran, dan ada juga yang menolak. Yang langsung memberikan tawaran adalah... hemm.. Cina oriented. Kembali ke dunia nyata.

Mengingat masa dulu.
Ketika almarhum kakek disebut sebagai pahlawan di Jambi. Menurut cerita dia membantu pejuang dengan menyelundupkan logistik secara waktu itu dia memiliki armada kapal dagang. Keluarga mendapat tawaran untuk memindahkan kuburan ke TMP, yang mana keluarga menolak karena di TMP tidak bisa bakar2-an kertas atau sembahyang pakai hio.

Gw masih kecil ketika dia meninggal, jadi ga sempat tanya2. Apa yang dia lihat dari negara ini?

Generasi gw sudah semakin menua. Ini adalah generasi Cina yang menyebut Indonesia sebagai rumah, pintar bahasa Indonesia, dan tidak bisa berbahasa Cina.

Generasi yang lebih muda? Dan generasi ketiga yang mulai muncul? Sayang sekali mereka adalah generasi yang akan berorientasi ke Singapura, Malaysia, Korea, Hongkong, Shanghai, Beijing, dan Taiwan.
Tanyakan kepada generasi gw, apakah akan membiarkan anak2 kita tidak bisa bahasa Cina? Tentu saja tidak. Dari sekarang saja kita sudah bisa melihat bahwa penguasaan bahasa Far East adalah penting.
We are going to make sure they will know Chinese.

For Indonesia, again... they must know. You can't change the wind, but you can always adjust the sail. And you must never be late in adjusting the sail.
Sekarang adalah masa yang kritis. Integrasi atau hancur berantakan. Mau maju mengalahkan Singapura, Malaysia, India, dan bahkan Cina? Bagaimana mungkin jika cuma segelintir yang maju? Sementara negara lain semua komponen maju bersama?
Unfortunately there isn't much time for this. As the world is getting seamless, so is the people. Dan kita masih saja menghabiskan waktu dan energi untuk bertengkar satu dengan lainnya.

Adalah mimpi untuk bisa berkata "Saya orang Indonesia" tanpa disangka teroris, buruh ataupun pembantu.

Walaupun untuk hal ini gw punya kartu privilege karena dalam beberapa kesempatan selalu dikenalkan sebagai: "He is an Indonesian, but he is a Chinese." Gw tidak mengerti mengapa harus ada kata "but", tapi sepertinya itu membuat segala sesuatu berjalan lebih lancar. Oooo yeah...

Someday we will remove the "but" word, or I should change the nationality name.

Tuesday, October 04, 2011

Gaul Selera Jadul

Banyak yang bertanya2 kenapa selera gw tidak mencerminkan penampilan dan gaya (halah... padahal penampilan biasa2 saja).

Kenapa gw senang dengan kejadulan, entahlah.. mungkin pengaruh umur yang sudah semakin tua.

Ketika masih muda dan kuliah di Singapur dulu dan masih jaman bekerja malam2, ada teman yang menyetel lagu 'Nyanyian Rindu'-nya Ebiet, dan dia terkaget2 ketika gw bisa "ikut bernyanyi".
"Gila lu bisa hapal liriknya!"...ooh jelas...seluruh lagu pun hapal.

Lagunya ngga jadul2 amat, tapi mungkin label 'jadul' sudah menempel pada Ebiet. Padahal menurut gw dia salah satu musisi jenius Indonesia, dengan Iwan Fals. Dan gw mesti mengakui: I'm a fans!
 
Memang dulu pas masih muda... huuu apa2-an itu. Labelnya lebih parah: lagu pembantu! Rasanya ga jaman banget, apalagi dengan demam boysband + Bon Jovi. Cuma pembantu gw sering denger.
Tapi entah kapan koq rasanya bagus yak... gw bahkan mendengarkan kembali lagu Nike Ardilla.

Di lagu2 jadul ada kenangan, yang terkadang nyaman diingat kembali. Ketika bernyanyi dengan pembantu, liburan keluarga, menyusuri jalan2 Sumatera ketika bekerja dulu, bernyanyi bersama dengan teman2 ketika perpisahan dulu, sinetron favorit, etc.

Gw suka jadul karena ada cerita yang luar biasa dan benar2 terjadi dan jadul adalah saksi mata yang masih hidup.

Ketika menatap surat masuk Indonesia milik almarhum Kakek dan Nenek, ada cerita dibalik sejarah keluarga ini di Indonesia.
Akte anak luar nikah milik bonyok, ada cerita mengapa mereka disebut sebagai anak diluar nikah.

Gw masih ingat ketika gw dulu menemukan kardus penuh berisi Intisari koleksi bokap dari masa2 dia dulu. Setiap sore gw selalu duduk dan membaca satu persatu dengan penuh semangat.
Ada cerita mengenai letusan gunung Kelud, perang kimia entah di mana, cerita2 yang sebenarnya tidak pernah diceritakan kembali di masa gw.

It is not wise to live in the past, but sometimes you can relax a bit, take a rest from the present, stop worrying about the future and listen to the story from it.

Sunday, October 02, 2011

Flee or Flight

Ketubruk kartu pos ini. Spesial? Perangkonya sih tidak, gambarnya sih tidak. Tapi cap-nya iya. Sedikit norak memang, tapi ini benda pos pertama gw yang berasal dari Kitty Hawk North Carolina.

Loh Kitty Hawk bukannya nama carrier? Yee... carrier dinamakan berdasarkan nama kota. Terus kenapa dengan kota itu. Ya kalau belajar sejarah dunia dan bukan sejarah bulan tentu tahu kalau Kitty Hawk adalah kota dimana Wright bersaudara melakukan penerbangan pertamanya. It is the city of the first flight.


Wright bersaudara pertama kali terbang 17 December 1903. Dan hanya dalam 8 tahun penerbangan sudah menyebar luas ke seluruh dunia.

Hongkong pada 18 Maret 1911.


Singapur lebih awal 2 hari pada 16 Maret 1911.


Dan Inggris pada 9 September 1911 sudah meluncurkan pos udara.


Sepuluh tahun dari 1911 --> 1921, Amerika sudah melakukan penerbangan coast to coast untuk air mail servicenya.


Indonesia entah kemana, perlu riset lebih lanjut. Tapi perlu dicatat bahwa Singapur menyebut penerbangan komersial pertamanya pada 11 Februari 1930 tiba di Seletar Airport adalah dari Batavia.

It is just amazing, hanya dalam 8 tahun.. dari Amerika hingga tiba di Asia.