Sunday, October 16, 2011

Cina...

Menonton film '1911' kemarin, ada hal yang menarik. Terkisah ada perkataan bahwa orang Cina di perantauan selalu di-bully karena negara Cina lemah.
Terkisah pula ada teman dari Malaysia yang berkata: "You know what they said? You all can go back to China!"

Sekarang walaupun Cina sudah maju, namun apakah gw yang berwajah Cina bisa jalan dengan bangga? Rasanya tidak, karena gw masih orang Indonesia dan negara Indonesia masih seperti kentut.

Gw adalah generasi kedua di Indonesia, karena kakek dan nenek masih berasal dari Cina. Tapi apakah gw familiar dengan Cina? Sekali lagi kentut adalah jawabannya.
Rasanya untuk generasi gw, we call ourselves as Indonesian. Yang bisa bahasa Cina pun cuma secuil dua cuil orang. Gw tau kota, gunung, sungai, pantai di Indonesia, sedangkan yang di Cina sana.. boro2 tau.

Tapi gw harus bilang gw orang Cina, entah mau disebut etnis Tionghoa keq terserah. Sekarang gw setuju dengan bokap gw, harus seperti itu. It's an identity that can never ever be lost.
Dan Indonesia adalah tempat lahir, dan itupun adalah identitas yang tidak akan pernah hilang. Bagaimanapun sepanjang perjalanan hidup selalu ada serpihan kenangan yang tersebar di mana2.

Dulu gw sering menyesal menjadi orang Cina, bukan apa.. cuma sering digebukin dan di-"palak". Selalu protes ke ortu kenapa harus terlahir sebagai orang Cina. Egois memang, karena jika gw mengalami hal seperti itu, mereka juga tentu mengalami hal serupa.
Dan mereka selalu bilang "jika besar nanti, kamu akan tahu betapa beruntungnya jadi orang Cina."

Which is true. Orang yang gebukin dan malak gw, entah jadi apa mereka sekarang. Tapi yang jelas gw menjadi lebih kuat dari yang dulu. Dan gw menyadari betapa beruntungnya punya tampang Cina. Tampang tidak bisa diubah, tapi attitude selalu bisa.

Ketika kerusuhan London masuk berita, banyak rekan2 yang mengait2-kan dengan kerusuhan 1998. Dan ada satu opini yang ditulis oleh salah satu reporter kenamaan Indonesia yang menyamakan kerusuhan London dengan 1998. Masalah ekonomi katanya.

Tapi, buat kita2 sebagai saksi hidup peristiwa tersebut, ini adalah hal yang tidak sama. 1998 memang disebabkan oleh masalah ekonomi, politik, dll. Tapi ini adalah kerusuhan yang menargetkan etnis... huff...Cina. Gw bilang ke rekan2 gw: "We forgive, but we will not forget". Dan selama gw hidup, gw akan tetap menceritakan hal yang sama.

Di mana gw waktu itu? Berjalan kaki pulang Ebtanas dari sekolah ke rumah karena tidak ada satupun angkot yang beroperasi. Dan gw tidak akan pernah lupa bagaimana tatapan orang2 sepanjang jalan terhadap muka full Cina gw.
Ketika itu sudah 5 tahun gw tinggal di Tangerang, dan hanya di hari itu gw melihat wajah orang2 yang seperti melihat alien melintas. Ketika sampai di rumah, sudah ada hadiah batu di tempat tidur gw.

"Indonesia will not be able to survive the second one." Begitu yang gw katakan, ketika ada yang menanyakan apakah gw sekarang masih khawatir kejadian serupa. 1998 yang pertama masih menyisakan banyak hal sampai sekarang.

Banyak dari kita... sisa2 1998, no longer call Indonesia home. Dan beberapa dari mereka adalah orang2 yang gw tahu benar2 berkualitas. Dan banyak juga dari kita, sisa2 1998, yang selalu bersiap2 lari ke luar negeri. The trauma is still there, it will heal with time, but currently it is there.

Ketika kuliah, gw masuk universitas negeri. Itupun dengan berjaga2 karena pasti bisa masuk swasta. Ketika itu gw sudah berubah, gw sudah menjadi orang yang "What the heck...". Gw akan memberikan ini kesempatan, just to take a look.

Sejenak gw berusaha untuk beradaptasi dengan nilai2 "luhur". Hingga akhirnya ambruk juga. Gw adalah gw. Gw bangga dengan nilai2 yang gw punya. Mau itu kata individualistis, kapitalisme, kebarat2-an. Persetan. Mau mengharapkan gw kompromistis dengan nilai2 "luhur nan ketimur2-an"? Aduh sakit kepala, secara munafik banget gethu loooh.

Tentu hal ini mengakibatkan gw tidak bisa menjadi tokoh terkemuka di kampus. Tapi pada akhirnya gw merasa hidup gw menjadi lebih kaya karena gw menjadi mengerti sisi pandang yang berbeda. Dan.... gw juga bisa melihat ada teman2 yang mulai melihat dari sisi pandang gw.
Pertama kali gw masuk institusi negeri, entah kapan kedua kalinya.

Dan ketika mencari kerja, gw menjadi naif dan lugu. Bermimpi bahwa gw bisa masuk ke semua perusahaan. But apparently not. Ya contoh sajalah... boro2 gw jadi PNS.
Ada yang langsung memberikan tawaran, dan ada juga yang menolak. Yang langsung memberikan tawaran adalah... hemm.. Cina oriented. Kembali ke dunia nyata.

Mengingat masa dulu.
Ketika almarhum kakek disebut sebagai pahlawan di Jambi. Menurut cerita dia membantu pejuang dengan menyelundupkan logistik secara waktu itu dia memiliki armada kapal dagang. Keluarga mendapat tawaran untuk memindahkan kuburan ke TMP, yang mana keluarga menolak karena di TMP tidak bisa bakar2-an kertas atau sembahyang pakai hio.

Gw masih kecil ketika dia meninggal, jadi ga sempat tanya2. Apa yang dia lihat dari negara ini?

Generasi gw sudah semakin menua. Ini adalah generasi Cina yang menyebut Indonesia sebagai rumah, pintar bahasa Indonesia, dan tidak bisa berbahasa Cina.

Generasi yang lebih muda? Dan generasi ketiga yang mulai muncul? Sayang sekali mereka adalah generasi yang akan berorientasi ke Singapura, Malaysia, Korea, Hongkong, Shanghai, Beijing, dan Taiwan.
Tanyakan kepada generasi gw, apakah akan membiarkan anak2 kita tidak bisa bahasa Cina? Tentu saja tidak. Dari sekarang saja kita sudah bisa melihat bahwa penguasaan bahasa Far East adalah penting.
We are going to make sure they will know Chinese.

For Indonesia, again... they must know. You can't change the wind, but you can always adjust the sail. And you must never be late in adjusting the sail.
Sekarang adalah masa yang kritis. Integrasi atau hancur berantakan. Mau maju mengalahkan Singapura, Malaysia, India, dan bahkan Cina? Bagaimana mungkin jika cuma segelintir yang maju? Sementara negara lain semua komponen maju bersama?
Unfortunately there isn't much time for this. As the world is getting seamless, so is the people. Dan kita masih saja menghabiskan waktu dan energi untuk bertengkar satu dengan lainnya.

Adalah mimpi untuk bisa berkata "Saya orang Indonesia" tanpa disangka teroris, buruh ataupun pembantu.

Walaupun untuk hal ini gw punya kartu privilege karena dalam beberapa kesempatan selalu dikenalkan sebagai: "He is an Indonesian, but he is a Chinese." Gw tidak mengerti mengapa harus ada kata "but", tapi sepertinya itu membuat segala sesuatu berjalan lebih lancar. Oooo yeah...

Someday we will remove the "but" word, or I should change the nationality name.