Yup ini bukan soal minum minuman bergelimang dosa, tapi minuman baik2. Memang perlu diakui selera terkadang berubah2. Kadang gw suka minum teh, kemudian ganti ke kopi, kemudian ke Mil*, kemudian balik lagi ke teh, dst.
Entah sudah semakin berumur, but i like my kopi to be thick! Karena ini Starb*cks lewat. Gw lebih suka *ld Town Coffee karena ada versi 'gao'(thick)-nya, tapi sayang disayang tidak datang dalam versi blended ala frapuccino.
Padahal dulu pas muda bela2-in ke Starb*cks, biar gengsi gitu.. Tapi ya namanya selera masih selera pembantu dan supir truk, jadinya kurang cocok sama yang terlalu elite2 gitu.
Kemarin ketika ke Penang, sempat mencoba Cameronian Tea (ya namanya di menu gitu) di Penang Hill. Awalnya gw pikir dari Cameroon.. so pingin nyoba, mana tau belakangan diberi tahu teman kalau ini kemungkinan besar dari Cameron Highlands a.k.a dari Malaysia situ2 juga. Rasa sih... hmm ga beda sama SariWang*. Makanya gw agak2 aneh, ini spesial dari mana??
Memang yang menarik dari teh adalah banyak sekali ragamnya. Dan bagi gw personal yang buta rasa, perbedaan rasa teh lebih terasa daripada kopi. Belum lagi ditambah adanya teh pelangsing yang dijamin bikin diare... mantap (bisa menikmati mules2-nya)!
Tapi cerita teh dan kopi terbaik masih datang dari tanah air sendiri, dan tidak usah menghabiskan uang berdolar-dolar.
Ketika muda dulu singgah di pasar Pagar Alam, dan sang supir ingin ngopi. Ya akhirnya turunlah kita semua di warung kopi di pasar tradisional. Mereka semua mesan kopi, dan gw masih ragu... ya maklumlah warung serba reyot, gelas ga tau dicuci di mana, dst dst. Walaupun akhirnya gw mesen segelas juga. Datang dalam gelas kecil dengan tatakan aluminium (yang biasa orang tuang ke situ terus sruput2).
Dan ketika gw minum... olalala...enaknyoo. Wangi benar2 asli kopi tanpa tetek bengek susu kental manis, krimer, dll. Benar2 aroma kopi kiloan di pasar2.
Entah karena biji kopi yang berbeda, atau karena suasana Pagar Alam yang begitu mempesona, tapi gw benar2 menikmati saat2 itu. Sore hari, orang2 udah bersiap2 pulang, dan sinar matahari sudah berubah menjadi oranye, benar2 magical.
Harga? Cuma 1000 perak per gelas.
Dan ketika kita pulang, kita mampir di perkebunan teh PTPN entah nomor berapa. Ada koperasinya di situ sekaligus numpang toilet. Rekan2 seperjalanan menganjurkan untuk membeli teh di situ, teh Gunung Dempo katanya, ya itung2 nyobain. Bungkus sederhana, cuman ada label PTPN, harga pun murah2 meriah. So gw pikir apa salahnya nyoba2. Bawa pulang 2 bungkus.
Gw tanya ke orang2 koperasinya, kalau teh-nya enak kenapa ga masuk pasar Indonesia. Mereka jawab mayoritas teh dari perkebunan ini di-ekspor (gw ga percaya <-- skeptis).
Dan tuh bungkusan gw bawa pulang sampe Tangerang karena teh-nya bukan teh celup, ribet bikinnya, belum lagi gw skeptis dengan merk 'PTPN'.. pemerintah getu looh.
Tapiiii.... ketika gw nyeduh bareng nyokap. Lagi2 OMG enaknyooo....Semua merk2 pasar model Sariwang*, L*pton lewat ke laut! It's good! Warna tehnya merah kuat, rasa berani dan masih terasa rasa2 daon-nya. Teh Sumatera memang beda (teh2 komersil umumnya dari perkebunan di Jawa)! Dan dalam sekejap dua bungkus teh itu ludes >.<.
Indonesia daerah terpencil...barang2-nya tidak serumit yang dijual orang2 di kota2 besar dan mal2 (mau itu kopi Jamaica, teh Maroko, Srilanka, pakai susu, krimer, melati, dll), tapi ada cita rasa sederhana yang kuat.
Dan mungkin karena gw semakin berumur, tapi makin hari gw makin menghargai hal2 seperti ini. Tidak peduli gengsi, tempat dan martabat, sesuatu yang bagus akan selalu bagus. Dan setiap kesempatan untuk menikmati sesuatu hanya berlangsung sekejap dan tidak mungkin terulang lagi. Karena itu kalau sekarang gw sruput2... terutama di tempat asing, gw berusaha untuk sruput2 dengan serius.
Memang tidak di semua tempat, tapi ada tempat di Indonesia dimana tongkat kayu dan batu benar2 jadi tanaman. Kadang sampai bergidik... koq bisa ada tanah sekaya ini.