Saturday, October 02, 2010

Q! is a Culture

Menyimak berita mengenai drama FP* dengan penyelenggara Q! Film Festival dan komentar menteri terfavorit-ku mengenai hubungan antara homoseksual dan HIV/AIDS, sulit rasanya tidak berkomentar.

Entah pernah denger atau baca dari mana judul blog ini, tapi pada akhirnya gw setuju. Q! is now transforming from a disgusting, sinful, abnormal (therefore the original word: queer) actions into a culture. Dan sebagai culture mau tidak mau ini menjadi bagian dari kehidupan sehari2. Pengaruh barat? Ah tidak juga. Seperti yang kita ketahui bersama yang namanya homo ada di mana saja. Pengaruh barat yang mungkin positif (dan mungkin juga negatif) adalah keterbukaan dalam membicarakan hal ini.

Kenapa menjadi kebudayaan? Gampang..they have their own cultural products. Sebut saja contohnya buku, musik, film, pariwisata, bisnis ('pink dollar' business), busana, komunitas, dan juga riset dan pendidikan (yes there is research and education in gay culture...confirmed =)). Cakupannya menjadi lebih luas dari sekedar seks di tempat tidur dibalik pintu yang tertutup.

Kalau sudah begini, gw memang bisa berempati terhadap para pembela kebenaran dan keadilan, badan2 keagamaan, dan orang2 kolot ini. Karena nilai2 yang mereka anut dalam serangan yang luar biasa hebat. It's ok, it's understandable.

TAPI apakah ini efektif? The answer is a big NO. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, material Q! bisa diperoleh dimana saja dan kapan saja. Tinggal buka internet dan wussh dengan jejaring sosial seorang Q bisa berhubungan dengan Q di mana saja. Komunitas terbentuk, pasar terbentuk dan alur material terbentuk.
Kalaupun Q! culture dibatasi dengan instrumen hukum dll (misal..kalau mau diterapkan hukuman gantung untuk Q), ini akan berdampak negatif terhadap Indonesia sendiri. Kata sederhana, uang dan orang yang seharusnya masuk dan berputar di Indonesia akan lari ke negara lain. Silahkan kalau Indonesia bisa menanggung dampak ini.

Di era milenium ini, tidak lagi bijak mengatakan my culture YES, your culture NO. As long as your culture is profitable, lets TALK. Ini terjadi dimana2! Ketemu klien orang Korea ya dijamu di restoran Korea dan makan kimchi, ketemu klien orang Jepang ya belajar bilang 'arigatou', ketemu klien orang Cina ya belajar bilang 'ni hao'. Bisa punya bisnis yang bilang: 'Oh no..saya tidak mau punya klien orang XXXX', silahkan dan bisnis anda akan dituduh rasis, dan pelanggan akan lari ke kompetitor. Ini dunia yang cuma selebar daun kelor!

Dan Q!? Apalagi! Sudah bukan jamannya mengatakan Q! sebagai sesuatu yang hina, salah, dosa dan perlu dinormalkan. Q! can be everyone, seorang bos, penata rambut, guru, dokter, ahli bedah, tukang masak, ilmuwan roket, teman, suami, istri, anak, dll. How can you say NO?!

Start talking, start discussing, and start understanding.