Menghabiskan weekend kemarin di Tangerang dan Jakarta, dan kembali duduk di belakang setir. Koq rasanya capek sekali yah.
Jujur rasanya makin hari dunia makin buruk.
Angkot berjejer seperti mengemis. Begitu ada penumpang satu, wess..langsung berhenti mendadak, bahkan di tengah jalan sekalipun.
Dalam hati bercampur antara kasihan dan syukurin. Yup dulu pernah mengalami kenyataan pahit ketika berseragam sekolah. Boro2 sang angkot berhenti, begitu melihat kita2 yang berseragam sekolah..bruum langsung tancap gas. Waktu itu ada peraturan pemerintah yang nan goblok: anak berseragam sekolah bayar Rp. 500 sementara tarif resmi Rp. 1000. Akhirnya kita2 yang berseragam tidak mau diangkut (walaupun teriak2 "Pak saya bayar 1000 Pak!!"), dan ortu gw terpaksa mendaftarkan gw untuk ikut anter jemput swasta.
Belum lagi kebiasaan angkot yang selalu ngetem, terus masuk gigi satu dan maju mundur endut2 ga jelas, untuk memberi kesan ke calon penumpang kalau angkotnya mau jalan tidak ngetem lagi. Masalahnya buat penumpang yang udah duduk di dalem, waduh rasanya terkocok2 dengan maju mundurnya si angkot.
Ngetemnya juga ga tanggung2, setengah jam di tempat A, setengah jam di tempat B, penumpang marah disuruh naik taksi. Sampai2 gw pernah ketinggalan kereta Bandung-Jakarta yang harganya 60k++ hanya karena angkot goblok yang ongkosnya 2k.
Sekarang angkot sepi, karena orang miskin pun bisa beli motor (yang juga udah kaya semut), sukuuurriiin!!
Ok, back ke menyetir.
Kemaren ada satu ruas jalan yang diberi label "Kawasan tertib lalu lintas km. 22 - 24" di Tangerang. Intinya motor disuruh masuk jalur kiri, dan mobil di jalur kanan.
Dan muncul-lah salah satu mahluk yang paling gw benci sejagat: polisi lalu lintas!
Gw tidak benci semua jenis polisi Indonesia, tapi hanya untuk jenis inilah gw paling alergi!
Dengan label "kawasan tertib lalu lintas", dipasang traffic cone untuk memisahkan jalur kiri (motor) dan jalur kanan (bus). Karena memang otak sudah tersumbat asap knalpot, yang namanya traffic cone pastilah roboh2 dipasang di jalan seperti itu, namanya juga tertiup angin kendaraan.
Dan Pak Polisi dengan arogannya, naik motor "Polisi", membetulkan traffic cone. Ada yang melawan arus kendaraan, ada yang masuk jalur mobil dan berhenti di tengah2. Tertib lalu lintas mananya Pak? Koq malah Bapak yang tidak tertib?
Terus setelah lewat satu ruas lampu lalu lintas, ada mobil yang motong gw dari kanan...fussh...langsung nyalip terus banting setir masuk ke jalur gw tanpa aling2. Jelas gw klakson2 dunks.
Dalam hati bingung juga..nih supir ga ngeliat polisi segedubrak banyaknya apa? Sudah jelas dia di "priiit", dan pasti bakal disapa "Selamat pagi/siang Pak?", dan diteruskan dengan "Boleh lihat fotonya Pak?".
Dan memang prit2...distop dia. Awalnya masih maju pelan2, gw pikir mau minggir pelan2. Eeh tau2 berenti mendadak! Udah keluar semua nama2 binatang! Ini apa2-an?!?! Seakan2 jalanan milik dia. Pak Polisi lagi! Udah bukannya minggirin ke pinggir malah nyetop dia di tengah jalan!
Belum lagi dia berenti mendadak! Untung gw jaga jarak en ga nabrak dari belakang.
Huff memang hidup sekarang harus penuh kelapangan dada.
Sepanjang perjalanan ngedengerin radio. Ada lagu sepertinya dari Iwan Fals (kalaupun tidak suaranya mirip) yang mengiklankan keluarga berencana dari BKKBN pusat. Keren lagunya, suaranya serek2 basah gitu bikin pingin joget.
Dan akhirnya pemerintah goblok ini sadar akan masalah kependudukan?!?
Dari dulu Pak!! Dari saya SD-SMP sudah ngerasa jengah dengah banyaknya orang2 di negara ini! Terus menerus didengung2-kan "Oooh kita punya SDM yang luar biasa besar, ini potensi..potensi..potensi.."
Ke laut aja Pak! Potensi HK kalo SDM-nya pengemis, ga bisa baca tulis, anak2 jalanan, bawa2 bayi segala lagi, pembantu pun bangga, yang demo2 entah darimana duitnya, pelacur di negeri orang, etc.
Kemiskinan diagung2-kan, kekayaan dijelek2-an (ooh orang kaya susah masuk surga-lah, kapitalisme-lah, etc, dll). "Kita butuh Bu Muslimah! Yang rela kerja rodi tanpa dibayar! Ikhlas!" Alamak!
Di radio ada yang komen: "Ada supir angkot single, ditanya penghasilannya, dan jawabannya "cukuplah". Setelah menikah menjadi "separoh cukuplah", setelah punya anak 6 menjadi "sepertujuh cukuplah"." Ring a bell?
Bolehkah para orangtua ditanya?
Ketika gw muda dulu selalu ada cerita:
"Dulu Bandung tidak seperti ini Mas, dulu......(intinya sejuk, indah, ga banjir)"
"Dulu Papi dan temen2 suka berenang di sungai ini, airnya biru dan jernih (sambil memandang sungai yang sudah kecil dan ditumbuhi entah apa)"
"Dulu hutannya luas Pak, ada monyet, ada macan, ada babi hutan sering kelihatan (sambil memandang perkebunan sawit)"
"Dulu harga makanan ga semahal ini Pak, sekarang ga sanggup beli beras lagi (sambil memandang mereka makan singkong..[dan gw terpaksa sok2 bersimpati dan harus makan makanan sederhana =(]"
Dan banyak dulu2 lainnya.
Ga kebayang apakah ketika gw punya anak kelak, gw akan bercerita dulu..dulu..dan dulu??
Apa gunanya dulu yak??
Kalau generasi orang tua sudah mewariskan keindahan dulu yang telah hilang, akankah generasi sekarang terus mewariskan kehilangan? Sayangnya rasanya iya. Toh dari kecil sampai tumbuh setua ini, rasanya banyak sekali yang telah hilang. Terus sampai kapan? Tinggal tunggu hutan habis, emas tembaga freeport habis, minyak, gas, dan batubara habis...
Mungkin bukan generasi sekarang, tapi generasi selanjutnya bisa jadi akan menyaksikan ini.
Terdengar berita di radio: banjir bandang di Aceh akibat pembalakan liar. Kasihan juga orang2 itu yang berpikir bisa mengambil terus dan terus tanpa menanggung konsekuensi. Pfft...selalu.., ini bukan masalah ahlak dan moral, ini masalah ekonomi.
Memandangi anak2 kecil yang goblok (baca: lugu) yang kian bermunculan di kiri dan kanan, gw tidak bisa berhenti berpikir. Apa yang akan lu2 lihat kedepannya? Hanya sekedar cerita? Dan silikon, dan internet, dan nilai pelajaran, dan ranking, dll?
Hidup makin tidak mudah, tidak sampai hati rasanya mewariskan ketidakmudahan ini ke anak GW (personally)...ke anak orang laen sih ok2 aja.