Saturday, August 13, 2011

My Favourite Minister vs. Piracy

Hanya beberapa hari yang lalu, Pak Menteri terhormat favorit gw (yang menurut gw lebih sensasional ketimbang kapabel) masuk berita torrentfreak. Judulnya begini:

Government To Block Sharing Sites, But Music Biz Must Cut Prices.

Sudah bisa ditebaklah baunya kemana. Tapi perlu diambil catatan bahwa beberapa waktu sebelumnya torrenfreak juga pernah mengangkat berita bahwa Malaysia memerintahkan kepada ISP2-nya untuk memblok PirateBay, torrent indexer yang di satu pihak dianggap sebagai penjahat dan di pihak lain dianggap sebagai pahlawan. Tergantung mau dilihat dari sisi mana.

Personally gw berada di sisi yang menganggap mereka sebagai pahlawan, and I wish them all the best. Gosipnya USA sampai mengancam mengeluarkan Sweden dari WTO hanya untuk membawa mereka ke pengadilan. Dan ketika digrebek PirateBay sempat down, tapi dalam hitungan menit sudah up kembali dari tempat lain. Luar biasa!

Dahulu kita hidup dengan klausul: "Kalau tidak bisa punya janganlah mencuri". Sayangnya di era informasi klausul ini bergeser menjadi "Kalau tidak bisa punya, harus bisa punya dengan cara apapun".
Dan tidak, hal ini tidak bisa dirubah karena informasi menjadi sesuatu yang krusial, penting, dan globally available.

Adalah kita dulu hidup dengan masa informasi terkontrol dan sulit diduplikasi. Contoh saja dulu di Indonesia satu2-nya sumber berita adalah "Dunia Dalam Berita", "Laporan Khusus", dan koran "Kompas". Mengapa? Simpel.. karena kita tidak punya teknologi untuk membuat dan mendistribusikan informasi.
Sekarang? Sudah jauh berbeda. Teknologi untuk ini ada di mana2. Dan orang2 yang kehilangan kontrol mulai merasa tidak nyaman.

Ambil contoh ketika dulu beredar film "Fitna" yang dikatakan menghina agama Islam. Pemerintah Indonesia dengan sigapnya mengirim surat kepada Google untuk memblok video tsb di Youtube kepada koneksi internet dari Indonesia. Apakah ini cukup?
Maaf seribu maaf, karena saya kepingin nonton, maka dengan memakai proxy dengan sekejap gw sudah keluar di Jerman dan Youtube memutar video tersebut dengan senang hati.

Apa yang mau dikatakan di sini? Musik adalah media, media adalah informasi, dan kembali kepada klausul awal: kalau tidak tersedia, orang akan memperoleh dengan cara apapun. Dan disinilah landscape IT mengubah segalanya.

Ketidaktersediaan bisa diakibatkan berbagai aspek, ya harga salah satunya, tapi salah dua dan salah tiganya masih banyak: sensor, supplier yang enggan membawa masuk, ketidakcocokan format, dll.

Kalau sekarang gw disuruh beli DVD asli di Indo, lalu disuruh ngeliat layar biru dengan tanda tangan Titi Said (sekarang udah ganti sih.. tapi lupa siapa yang baru). Sori demori...GW GA SUDI! Gw bayar mahal2 untuk beli film yang orang2 itu seenak jidatnya motong sana sini? Gw termasuk salah satu orang yang mendukung badan sensor sebaiknya ke laut. Rating is ok, boleh kontrol ini film untuk dewasa, remaja, segala umur, dll. Boleh buat peraturan: pengusaha bioskop boleh didenda apabila memperbolehkan orang masuk ga sesuai kategori film, boleh juga periksa KTP. Tapi ga boleh motong2 sana sini!

Belum lagi ada beberapa film yang ga bisa "masuk" karena kepentok isu2 sensitif ya SARAS (SARA+Seksualitas) itu lah...Lantas apa yang harus dilakukan? Ga nonton?? Alamak...orang2 SARAS itu goblok..bisa2 kita jadi ikutan goblok.

Ketika muda dulu gw pergi ke DT Dago. Ngeliat album DEEN, langsung pulangnya ga bisa tidur. Mahal... tapi keburu sudah nge-fans secara mereka muncul sebagai soundtrack di Tales of Destiny. Sebelumnya sudah punya MP3-nya (bajakan) tapi secara sudah ngefans berat (duile...) sama DEEN ya tetap beli albumnya.
Apa moral ceritanya? Rasanya gw ditipu sama DT. Ngebandingin harga sama A, duh lumayan jauh bo.... Ya tapi hadiah hiburannya untung semua tracknya bagus.

Jadi di sini gw mengeluh harga. Apakah gw mengeluhkan harga lagu2 DEEN? Tidak.. gw meragukan efisiensi DT dalam mengelola harga ketimbang A. Dan karena seribu beribu sayang A waktu itu tidak menerima kartu kredit Indonesia, dan mungkin boro2 ship ke Indonesia.. ya sudah lupakan sajalah.

Kemudian muncul Daughtry dengan "Home". Secara gw nge-fans sama Daughtry sejak dari AI (gw ga nonton lagi sejak dia pulang)... ya gw beli albumnya. Alamak..yang bagus cuma "Home" itu doang... =(. Kan andai gw bisa nyoba denger trial albumnya dulu... or gw bisa beli single "Home" doang.

Kemudian muncul lagi DEEN dengan "Kono Mama Kimi Dake Wo Ubaisaritai" (gw waktu itu ga denger satu kali sehari langsung ga enak badan gitu deh), dan pada masa2 ini...sudahlah boro2 DT stock lagi. Kalau mau beli waktu itu best shot adalah ke W, tapi harus berhadapan dengan tumpukan DEEN yang penuh dengan tulisan2 Jepun, dan Mba2 yang ga ngerti.. Then how??

Andaikan gw bisa tahu sebelumnya apakah mereka punya barang ini apa ngga tanpa harus langsung menuju ke lokasi.

Jadi banyak aspek lain selain harga.

Sampai sekarang gw selalu meluangkan waktu untuk "Youtubing" untuk mendengarkan "Top of the World" by Carpenters (IMO Karen is a lady with prettiest smile). Gw punya albumnya...tapi ga praktis juga bawa2 dari Indo kemari. Mau ditaroh di mana di Singapur yang sempit ini. Kadang unbelievable... lagu dari jaman gw belum lahir... masih keren sampai sekarang.

Jadi Pak Menteri...how can you address my issues? Gw punya duid.. gw mau belanja, but i expect more fairness.. especially di dunia informasi seperti sekarang ini.
Failure to fulfill my demand, misalnya DVD masih terus2-an disensor, maafkan saja kalau saya berpaling ke sumber lain.
Anda pajak terlalu tinggi? Maaf saja bila saya berpaling ke sumber lain.
Anda tidak bisa menyediakan media tepat waktu? Maaf juga bila saya berpaling ke sumber lain.
Toh internet is an open world. Blok sana sini malah bikin tambah repot dan tidak menyelesaikan masalah. Anda sendiri yang mengatakan "mustahil" untuk memblok 100% situs pornografi.

Dan bagi gw ... NO ini bukan moral issue. Bahkan lebih mustahil ketika lu dipaksa untuk menuruti nilai2 yang memang tidak logis, tidak masuk akal, dan menuju ke pembodohan di era globalisasi seperti saat ini.

Adalah hasil pembajakan ketika gw pertama kali mendengar "Top of the World" nya Carpenters. Dan betapa kagetnya ortu gw ketika gw mengambil CD itu di toko musik. Bagaimana gw bisa tahu? Dua generasi mendengarkan lagu yang sama...

I would say... without piracy... so much thing will be lost. Masyarakat terpaksa tunduk kepada nilai2 yang disuapi secara paksa. Bagaimana bisa menilai sebuah film hanya dengan trailer sepanjang 15 detik? Bagaimana bisa memilih sebuah album hanya dengan 1 single? Gw beli komik harus invest dulu di No. 1 baru bisa menilai ini komik bagus apa kaga?
Nilai2 bisnis harus direvisi dengan nilai2 yang lebih adil terhadap konsumen.

Indonesia dengan pembajakan terbesar karena masalah harga? Please!
Gw hanya bisa melongo karena tiket Maroon 5 sold out hanya dalam waktu 2 jam. Sementara gw berharap bisa beli online. Tiketnya bukannya murah, 600 rb + bow. Padahal gw juga pingin liat Adam Levine dkk...:'(

Di sisi koin yang lain, bagaimana bisa berharap orang dengan gaji $6.25 (UMR kira2 segini lah... dan BANYAK orang di Indo hidup dengan UMR) sehari bisa afford CD dengan harga $30 sebiji (ref: CD Riyu Kosaka: Danzai No Hana)? Itu gaji seminggu. Masuk akal? Seminggu gaji habis untuk media?
Dan kalau orang tidak mampu.... kembali ke klausul awal.