Salah satu cita2 dari dulu adalah menjadi CEO + keren. Apakah bisa jadi CEO dan tetap berpenampilan keren, tidak buncit, kerempeng ataupun botak.
CEO mantan perusahaan dulu kurus, perusahaan sekarang juga (sst..jangan bilang2). Gambarannya begitu sibuknya sehingga makan siang pun hanya bisa sandwich. Sibuk apa? Juga ga tau.. pokoknya sibuk deh.
Ketika melihat portal berita gosip Singapore: Stomp, mata gw tertuju pada rubrik Court Room. Biasanya ceritanya tentang si X tidur dengan si Y, dimana si Y umurnya masih remaja gitu looh. Tapi kali ini mata gw menuju ke kasus yang cukup menarik: mantan founder gay portal Fridae ditangkap karena ditemukan 0.01 g shabu di rumahnya (walaupun akhirnya dilepas dari Court juga, 0.01g segede apa sih).
Ya akhir2 ini semua orang pakai shabu, mulai dari supir Xenia, pilot pesawat maupun pegawai negeri yang katanya "stress" dengan pekerjaannya (kerja apa sih pegawai negeri kita).
Kemudian gw tertarik (sebagai pengamat dunia pergosipan IT): Fridae.asia (sekarang) memang tidak besar di Indonesia, tapi site ini cukup hebring di kalangan gay "mata sipit", mulai dari Singapur, Malaysia, China, Hongkong, hingga Taiwan.
Orang Indo... lebih memilih portal lain.
Seperti apa sih mantan founder-nya dan CEO-nya? Awalnya gw pikir tampang geek gitu. Tapi setelah menemukan nama dan men-google termasuk menemukan LinkedIn dan Facebook-nya. Holy Sh*t! So hot! Gw bakal jual jiwa ke iblis kalau bisa dapet bentuk badan seperti dia!
Udah hot seperti itu....mantan lulusan RI (ini nama sekolahan di Singapura, top cer banget..banget...) pula!
Gw terkagum2 sampai meler. Komplit kerennya.
Ok inti-nya...Gw berkata ke diri gw: Hit the gym, and hit the pool! Kita serius dari sekarang. It should be both brain and brawn! Sebenarnya triple: brain, beauty and brawn (huhuhu operasi plastik).
Tapi kemudian pertanyaan yang menggelitik. Apa yang membuat Fridae sukses?
Yang menganggu di pikiran gw adalah: Apakah mungkin masalah bisnis lebih penting daripada masalah teknik dalam mensukseskan suatu web (karena orang ini jelas2 bukan pakar IT)? Ok-lah mungkin bukan "lebih penting", tapi sebagai lulusan IT (jelek2 begini lulus juga), sepertinya kita2 lebih mementingkan aspek teknis daripada aspek bisnis. Kesannya adalah kalau kita bisa membuat web dengan teknologi a, b, c dan d, pasti sukses.
Ambilah contoh Facebook. Dia bisa bertumbuh besar karena dapet investasi $500,000 sebagai investasi pertamanya. Well mencari investasi adalah kerja bisnis, bukan IT.
Di Indo bukan tidak ada portal gay (untuk membandingkan dalam bidang yang sama). Dulu sempat ada dan cukup populer. Tapi akhirnya jatuh juga.
Why? Simple...no monetization. Dan sebenarnya market gay Indonesia...well kecil. Jumlah orang mungkin banyak, tapi kurang duit dan melek teknologi (jaman itu masih pada warnet-an dan IRC).
Fridae? Cukup cerdas. Diluncurkan dari Singapur yang cuma segede imprit. Berapa sih jumlah masyarakat gay-nya. Tapi kemudian dengan mudahnya masuk ke pasar China, Hongkong, dan Taiwan. Wah sudahlah habis cerita kalau mendapat pasar ini, kalangan menengah dikali jumlah yang segambreng. Itu duit semua. Pink dollar, walaupun tetep ijo.
Ditambah lagi Korea + Thailand karena sekarang bawa bendera "Asia". Dan karena marketnya diverse, satu mati masih ada tempat lain.
Di sini lagi2 gw berpikir. Ini adalah benefit dari Singapura. Lu mau orientasi ke Malaysia, Indonesia bisa, lu mau orientasi ke China bisa. Malay, India, Chinese, Filipino, it's a perfect melting pot. Kiri kanan depan (main) belakang semuanya gampang. Wow. Mereka dari muda sudah di-didik untuk berorientasi keluar. Wow wow dan wow.
Jadi kemudian gw bertanya lagi. Apakah market Indonesia hanya market Indonesia? Begitu terisolirnya kah kita?
Dan sepertinya iya. Rasa2-nya tidak ada satupun media online kita yang bisa masuk ke pasar asing. Semuanya jago kandang.
Media bukan online? Errr... entahlah.
Tapi gw di China nonton Channel News Asia....buatan mana hayo?
Padahal Ciputra punya proyek di Vietnam, Lippo Land bikin condo di Singapur.
Tapi web? Kenapa tidak ada yang bermimpi demikian?
Padahal tidak jarang orang Indo masuk ke dalam media2 asing. Contoh saja entrepreneur Indonesia di Kiva.
Dan setelah membrowsing2 Fridae gw melihat cerita yang cukup menarik. Ada
orang Indo juga yang masuk di-feature-nya. Masih muda, dan HIV positif.
Well ceritanya cukup heart warming, dari sisi optimisme-nya dia
menjalani hidup (I wish I had that kind of optimism).
Cukup
sayang, karena cerita-cerita seperti ini seharusnya bisa juga
diceritakan di media yang dikonsumsi di tanah air. Well too bad.
Why oh why?
Kenapa jago kandang? Karena semua pakai bahasa Indo? Karena orang2 Indo pada ga bisa bahasa Inggris?
Tapi contoh Agoda.com...basis di Thailand. Bahasa nasional Thailand juga bukan bahasa Inggris. Tapi koq Thailand bisa gitu?
Umumnya perusahaan IT asing di Indonesia (contoh: StreetDirectory) adalah sebagai offshore development. SDM lebih murah. Tapi tetap bukan home-grown business.
Atau karena market Indonesia sudah self sufficient? Orang Indo sendiri sudah cukup, tidak perlu melibatkan orang dari negara lain? Hmm gw perlu riset lagi.
Mungkin kita kurang pintar berbisnis?
Benar juga kata nyokap: "Lu harus tinggal di Singapur untuk bisa melihat betapa tertinggalnya Indonesia."
Dan untuk sekarang: hit the gym..hit the gym....oh my...