Monday, July 29, 2013

Bulan Puasa

"Ka, mau dibawain apa pas Mami ke sini lagi?"

"Rendang Mi..."

"Wah sekarang harga daging naik gila2-an, jadi banyak daging tidak fresh dijual di pasar.. Tapi ntar Mami cariin yang bagus kalau2 dapat"

"Oooh ga usah kalau repot gitu.. ga makan ga mati ini..."

Yah gw memang begitu, pemalas, toh kalau ga makan sesuatu itu, masih ada makanan yang lain dan tidak bakal langsung mati.

Sebenarnya bisa ditebak kalau harga barang2 pangan begini akan naik ketika bulan puasa menjelang: ayam, sapi, cabai, bawang, dst, dll. Ditambah lagi dengan "kado" kenaikan BBM dari pemerintah.
Dan jawabannya hanya satu: buka keran impor.

Lagi2 sapi dari Australia. Banyak rekan2 yang bertanya, kenapa sih Indonesia harus impor sapi melulu? Toh luasnya juga kira2 sama dengan Australia, melintang selebar tiga zona waktu. Hadeuh... gw hanya bisa menjawab bahwa konsumsi sapi kita gila2-an.

Tapi pertanyaan dari gw adalah: seberapa bijakkah kita dalam menyikapi Hari Raya?
Banyak yang berkata: "Wah kalau tidak ada gulai/lontong di meja ketika lebaran kurang sreg..."

Dari pemahaman gw yang paling dangkal, bukankah Bulan Puasa adalah bulan dimana kita mendekatkan diri pada pengajaran agama, menjauhi hawa nafsu, meningkatkan disiplin diri, dan berempati kepada orang2 yang kurang beruntung?
Sungguh disinilah gw mengagumi ajaran Islam, bahwa bulan ini membawa keberkahan karena tindak tanduk umatnya, bukan karena 'divine intervention'.

Nilai ini sungguh kontras dengan perayaan yang berlebih2-an. Apakah diwajibkan ber-Hari Raya dengan gulai dan lontong? Jika tidak ada, bukankah di-iklhas-kan saja?

Teringat ketika pembantu dulu sibuk mengisi "amplop hijau". Katanya jumlahnya menentukan derajat. Semakin banyak semakin tinggi derajatnya di kampung.
Alamaaaak....!!! Belajar dari mana orang2 ini?!?!?

Dari "amplop merah" orang2 Cina??? Astaga! Bukan begitu intinya!
Entahlah, tapi membangga2-kan penghasilan ketika Imlek, sungguh menjadi sangat dangkal dan tidak nge-trend.
Tentu saja anak konglomerat akan dapat amplop merah yang lebih besar dari anak pedagang. Tapi apakah itu intinya? Buat apa iri hati dan dengki? Toh dengan iri hati dan dengki tidak akan bisa menjadi konglomerat!

Sungguh di keluarga gw makna Imlek jauh dari amplop merah. Intinya hanyalah kesempatan untuk berkumpul seluruh keluarga, sekali dalam setahun, ketika hari2 lainnya dihabiskan untuk bekerja dan belajar, sebagian di perantauan yang jauh.
Kalau tidak begitu bagaimana sesama keluarga bisa dekat?
Rasa2-nya tidak ada yang target amplop, itu hanya sekedar formalitas belaka.

Teringat imlek kemarin harga jeruk lokam naik sekitar 8-15 kali lipat karena penutupan keran import. Apakah ribut2 harus makan jeruk lokam? Rasanya tidak. Tidak ada jeruk ya bisa makan yang lain. Tidak ada pengaruhnya ke semangat perayaan.

Di dunia yang semakin sulit ini, semoga kita semua bisa menjadi lebih bijak.